Senin, 11 Juni 2012

cerpen kehidupan


Serpihan Jiwa dalam Meratapi Impian
Oleh : Rahayu Kusuma Pratiwi

Keluarga kaya merupakan tingkatan sosial keluargaku di masyarakat. Tinggal di suatu pulau yang berlandaskan sosial budaya yang tinggi menjadikan diriku nyaman dan hidup tentram. Sebenarnya, gambaran kehidupanku berawal dari prestasi yang telah diukir ayahku. Ayahku adalah seorang dokter dan kini jabatannya yang mulia itu telah dikenal di seantero kota .
“Bangga..!”
Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Dan perbedaan umurku dengan kakakku hanya terpaut tiga tahun. Sangat beruntung bagiku telah dilahirkan ke dunia ini, dan ditempatkan diantara keluarga yang cukup berada dan cukup disegani oleh masyarakat sekitar.
Tapi hal itu, tak berlangsung lama. Entah terkena penyakit apa, ayahku telah meninggalkan aku, kakak semata wayangku dan ibu. Beliau meninggal saat umurku delapan tahun. Umur anak-anak yang masih memerlukan kasih sayang seorang ayah, tapi hanya terbalaskan oleh kasih sayang seorang wanita lembut, yaitu ibuku sendiri. Kini ibu lah yang menjadi tumpuan hidup kami mendatang.
Semenjak ayah meninggal, keadaan keluarga kami tak begitu nyaman dan tentram seperti dahulu. Hal itu dimulai dari pertengkaran antara aku dan kak Amanda.
”Heh.cepet sini, Rara..!”
”Iya kak, tunggu sebentar” bergegas lari dari dapur.
”Cepetan dong, nih tolong setrika bajuku ! Cepetan yah, sebentar aku mau jalan-jalan bareng temenku”
”Iya kak, aku setrika sekarang”
”Awas kalau rusak ya ! Cepetan..!!!”
Begitulah suasana yang kini sering terdengar di rumah sederhana yang kami tempati. Keadaan kami berdua di rumah sudah selayaknya anjing dan kucing, selalu bertengkar jikalau bertemu. Tetapi, aku harus mengalah demi tidak terjadinya perpecahan. Karena aku selalu teringat nasehat ayah untuk selalu berbagi, membantu dan menolong saudara sendiri. Sungguh amanat yang sulit aku lakukan untuk tahun-tahun belakangan ini, saat keadaanku berbeda dari anak-anak pada umumnya.
Hal itu mulai kurasakan saat umurku dua belas tahun. Siang itu, sepulang dari les, aku mengalami kecelakaan yang cukup serius. Sehingga kaki kananku harus di amputasi dan digantikan oleh kaki buatan. Mulai saat itulah aku selalu dianggap sebagai ’orang aneh’ oleh kakakku. Dan sejak kematian ayah, kakakku sering membentak dan menganggapku sebagai pembantu atau budaknya di rumah kami sendiri. Dengan penuh kesabaran aku menanggapi hal itu, karena tak ada hal lain yang bisa aku lakukan dengan keadaanku yang seperti itu.
...................

”Hai pincang” ledek Rommy.
”......” hanya terdiam karena panas hati.
”heh, berani juga kamu sekolah di SMA ini”
”Makasi” ucapku dalam hati, aku tak ingin mencari gara-gara dengannya, karena saat ini aku baru mulai menghirup dan merasakan suasana putih-abu bangku sekolah.
”Rommy, jangan seperti itu !” bela Rio dengan gagah.
”Wow, si pincang ternyata ada pembelanya juga ya.. Hehehe”
“.......” aku tetap terdiam.
“Pernahkah kau bercermin dengan dirimu itu? Apakah sudah lebih baik darinya?”
Karena malu, Rommy pun pergi meninggalkan kami berdua.
”Terima kasih ya, Kak”
”Sama-sama, sudahlah jangan dihiraukan omongannya itu”
Begitu banyak ejekan yang telah aku terima sejak kehadiranku di SMA ini, tetapi aku sangat beruntung mempunyai teman seperti Rio. Rio adalah temanku sejak kecil dan kami selalu bermain bersama dari kecil karena kami juga bertetangga sejak kepindahan ayahku dari Jakarta. Di SMA ini, Rio bukan lah hanya siswa biasa, dia merangkap jabatan menjadi ketua osis dan peraih juara umum. Wajahnya nan rupawan dan kapten basket adalah tambahan prestasi yang dimilikinya. Ia pun kini menjadi laki-laki yang sangat populer di SMA ku ini. Tetapi sampai saat ini, ia belum pernah terlihat bergandengan tangan dengan siswi lain.
Karena kami bersahabat dari kecil, ia pun sering bertamu ke rumah mungilku. Dan jikalau ia mempunyai waktu luang, ia pun sering membantuku untuk berjualan di rumah makan kecil yang dibuka oleh ibuku. Disana kami menjual makanan khas Indonesia, seperti nasi goreng, bakso, sate ayam, lalapan, dll. Kedai Makmur itu mulai terbentuk sejak kematian ayahku. Karena keuangan keluarga kami menurun sejak ayah pergi, akhirnya ibu berinisiatif membuka kedai itu untuk menambah keuangan keluarga. Karena dengan gajinya sebagai guru dirasakan kurang untuk membiayai kehidupan kami yang semakin hari semakin bertambah, apalagi dengan perubahan yang dialami kakak semata wayangku yang kini berpakaian secara berlebihan agar terlihat ‘glamour.’
Perubahan style yang dialami kakak pernah ditentang oleh ibuku, karena mengingat kami harus menekan angka pengeluaran yang harus disesuaikan dengan angka pemasukan yang diterima dari gaji ibuku dan keuntungan yang diambil dari berjualan di kedai. Pantas saja hal itu dilarang, karena dengan perubahan style itu, pastinya pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh kakaku akan semakin membumbung tinggi.
”Nak, kalian berdua harus bisa menjadi orang yang irit. Tolong ibumu ini, Nak”
”Iya bu, aku kan berusaha” jawabku.
”Tapi bu, aku perlu uang lebih dari ini, aku perlu beli baju baru” bantah kak Amanda.
”Bukannya bulan lalu, kamu sudah membeli banyak baju baru, Nak?”
”Yah, itu udah nggak jaman lagi, Bu ! Kuno tau, Bu. Entar aku nggak dibilang stylish lagi ama temen-temen. Ayolah, Bu” jelasnya penuh harapan
”Baiklah, untuk bulan ini saja. Nanti bulan depan tidak ada penambahan uang jajan lagi!”
”Baiklah bu, terima kasih”
Berfoya-foya, berbelanja hal yang tidak dibutuhkan, sering mentraktir teman di kampus dan sering bolos. Itulah kegiatan yang sudah menjadi rutinitas gejolak hidup kakakku menjadi mahasiswa. Pernah dibentak oleh ibu, karena beberapa bulan terakhir ini ada dosen dimana kakakku kuliah yang datang ke rumah, mengatakan bahwa beberapa bulan terakhir kakak tidak sekolah karena ijin yang tidak jelas dan nilainya anjlok. Padahal biasanya kakak mendapatkan nilai A karena kakak adalah mahasiswa yang cukup di segani di kampusnya itu. Entah dengan siapa ia bergaul hingga berubah seperti ini.
Suatu hari ketika aku mengikuti pelajaran fisika yang sangat aku cintai sejak SMP, guruku Pak Adhi, menginformasikan kepada murid-murid bahwa sekolah kami diundang untuk mengikuti lomba fisika tingkat SMA se-Indonesia yang diselenggarakan oleh HIMAFI-UGM.
”Lomba yang begitu keren!”
                                                            ................

Konflik batin. Satu kalimat yang terus terngiang di pikiranku. Akankah aku mengikuti lomba itu? Jika peristiwa semasa SMP terulang kembali bagaimana? Apa yang harus aku pilih sekarang? Aku bingung. Haruskah aku menyetujui Pak Adhi untuk mengikuti lomba itu dengan penuh harapan besarnya padaku? Atau apakah akan aku terima jawaban dari dilema hatiku saat ini?
Begitu banyak yang dipergunjingkan dari pikiranku layaknya aku ditempa oleh reruntuhan batu dan berusaha mencari jalan keluar darisana. Belum lagi dengan keadaan ibuku yang mulai memburuk karena penyakit asma yang dideritanya. Lomba itu diadakan tepat lima hari sebelum aku berulang tahun. Dan lebih parah lagi, lomba itu tidak ada yang dilaksanakan di Regional Bali, jadi aku harus terbang menuju Pulau Jawa dan bertarung disana. Tetapi aku sangat khawatir dengan keadaan ibu dan kakak yang mulai susah diatur. Aku takut kehilangan ibuku tercinta karena pilihan jalan keluar dari masalah ini salah aku ambil. Mengingat kakakku yang tidak pernah peduli akan keadaan ibunya karena kini ia sedang melakukan camping di daerah perbukitan bersama rombongan mahasiswa yang lain.
”Bu, aku bingung !”
”Bingung kenapa anakku?”
"Di sekolah, guru fisika Rara mengumumkan ada perlombaan fisika di Jogja“
"Wah, lomba yang bergengsi itu. Trus, apakah kamu berniat ikut?“
”Hmm.. Aku bingung bu, aku masih dilema karena lomba fisika SMP dulu.”
”Yang SMP biarlah untuk SMP saja kenangan pahitmu itu. Kini engkau kan sudah SMA, siapa tau nasibmu sedang disinari oleh Dewi Fortuna dan diberikan kemenangan. Kan tiada salahnya untuk mencoba!”
”Tapi bu, aku takut nantinya akan mengecewakan harapan ibu dan guru-guru di sekolah. Apalagi tesnya di Jogja, kan lumayan butuh pengorbanan uang juga untuk kesana.”
”Tapi kan tak ada salahnya untuk mencoba ! Jadi coba engkau renungkan baik-baik kesempatan ini. Jangan sampai dia lepas begitu saja dari genggamanmu.”
”Baiklah bu”
Mendapat saran dari ibu, hatiku sudah agak tenang dengan keputusan yang akan aku ambil. Tapi, aku masih belum yakin juga pada pendirianku. Tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk dari Rio.
”Ra, kamu ikut nggak Liga Fisika UGM thu?? Maunya aku ngajak kamu jadi timku. Kan lombanya bertim dua orang! Gimana?? Bales ya!”
”Duh, apa yang musti aku jawab ya? Mana aku belum punya keputusan lagi!” benakku.
Hari berganti hari, akhirnya dua hari sebelum pendaftaran ditutup akupun berniat untuk menghubungi Rio untuk membicarakan Liga Fisika itu. Tapi ternyata batang hidungnya tak terlihat sampai bel masuk kelas berbunyi. Sudah kucoba untuk menghubunginya lewat SMS (Short Message Service) dan telepon tapi tak satupun yang digubrisnya. Akupun sangat bingung dan tiba-tiba firasat burukku datang menyerang otakku.
Sepulang sekolah aku mencoba untuk bergegas pulang dan langsung menuju rumahnya. Di depan gang rumahnya terdapat bendera hitam. Tubuhku yang bercucuran air keringat kini berubah menjadi gemetar karena tradisi di daerah tempat tinggalku, jika terdapat bendera hitam berarti ada kematian yang pastinya melanda salah satu keluarga di antara sepuluh rumah yang berada di Gang Rutani tersebut.
”Rio telah pergi?? Tidakkk..!” teriakku sambil berlari menuju rumahnya yang berada paling pojok.
Di pagar rumahnya yang coklat terlihat Mimi, adik Rio satu-satunya yang dia miliki menangis tak seperti biasanya. Hal ini semakin membuatku takut akan keadaan Rio, aku tak ingin terlalu cepat ditinggalkan olehnya apalagi akupun belum sempat untuk menjawab pertanyaannya mengenai lomba fisika itu.
“Mi, kok kamu nangis. Kamu kenapa?”
”Rio kak.. Hhu Hhu hhu..”
”Hah ? kenapa Kak Rio? Dia udah pergi ?”
“Iya kak, dia ninggalin aku disini..!”
Mendengar ucapan itu, jantungku terasa terhenti untuk berdetak. Rasanya badanku yang basah akan keringat tak dapat kembali untuk menopang tubuhku yang jangkung ini untuk berdiri dan aku pun terjatuh menatap Bumi Pertiwi.
“Kak Rara, kenapa kok ikut nangis? Jangan begitu kak ! Nanti kotor baju sekolah kakak.”
”.........” hanya terdiam meratapi semut yang sedang menggali tanah.
”Ayo kak, jangan nangis ! Itu Kak Rio udah balik”
”Ra..?” Tangannya yang hangat menepuk pundakku.
”Apa ini adalah hantu Rio?” dalam benakku akan ketakutan dan kembali untuk berteriak.
”Hantuuu..”
”Lho, kenapa kamu? Aku Rio nih”
”Hah masa?”
“Iya ini aku, kok tumben ke rumahku?”
“Ini beneran kamu kan?”
“Aduuh, kok kamu gitu? Iya iyalah ini Rio Kusuma Atmardi”
Akupun tersentak untuk bergegas meraih tubuhnya dan ku peluknya dengan erat tanpa sadar diri. Sambil sesenggukan dan dengan mata berkaca-kaca akupun berbisik.
“Rio, aku takut engkau pergi”
”Aku nggak akan pergi kok Rara!” jawabnya sambil mengelus rambutku yang acak-acakan akibat aku berlari dan terjatuh tadi.
”Trus, kamu tadi kok nangis, Mimi?”
”Itu, Kak Rio ngambil sepedaku nggak bilang-bilang!”
“Ya ampun, kakak kira firasat kakak beneran kalo Kak Rio udah pergi! Aduhh, kamu itu lhoo”
“Emang bener kok tadi kak Rio pergi pakai sepedaku ke Gramedia, tapi dia nggak ngajak aku kak, makanya aku nangis”
“Oh, ya Ra. Gimana mengenai ajakan itu? Kamu setuju khan?”
”Iya, aku setuju. Maaf ya baru ngabarin sekarang!”
”Bruntung aja kamu setuju, aku udah ngedaftarin tim kita dua hari yang lalu”
”Ya ampun, ternyata kamu uda ngedaftarin aku toh.! Issh, kamu ini, tapi aku maafin deh. Hhe.. Hhe”
Sejak kami dapat bertemu kembali, kami pun saling bercerita tentang Liga Fisika yang akan diselenggarakan lima hari lagi. Dan ternyata semenjak ketidakhadiran Rio di sekolah, dia telah lebih dahulu mengambil ijin kepada guru untuk belajar di laboratorium dengan Pak Adhi untuk memantapkan lomba.
Tiba juga hari yang mendebarkan itu, melalui Pesawat Garuda Indonesia, aku, Rio dan Pak Adhi terbang melesat menuju Kota Pendidikan-Yogjakarta.
Senin, 8 Agustus, hari yang menengangkan bagiku karena hari inilah Babak Penyisihan Liga Fisika-UGM. Soal demi soal aku kerjakan dengan bantuan Rio. Sepuluh soal objektif dan sepuluh soal essay berhasil kami taklukan walaupun diantaranya kami mendapat nilai minus akibat jawaban yang salah. Tetapi akhirnya, kami berdua berhasil lolos babak penyisihan dan akan melaju ke babak semifinal yang dilanjutkan esoknya. Akibatnya, kami bertiga terpaksa menginap di Hotel Jogja.
Aku dan Rio akhirnya lolos juga dalam babak semifinal, dan kami pun melanjutkan untuk bertarung melawan sepuluh tim di Babak Final Liga Fisika-UGM.
”Sungguh bahagia hatiku”
Karena babak final akan diselenggarakan pada tanggal 11 Agustus, kami berdua pun mendapatkan waktu sehari untuk mempelajari tentang eksperimen-eksperimen fisika karena babak terakhir ini akan ditempuh di Laboratorium Fisika UGM.
Malam sebelum lomba sempat aku menghubungi ibuku. Tetapi timbul perasaan ganjilku karena teleponku tidak diangkat olehnya. Perasaan cemasku ternyata diketahui oleh Rio dan dia berhasil untuk menenangkanku.
Hari terakhir di Jogja adalah puncak usahaku dan Rio, disana kami bertarung untuk mendapatkan Piala Presiden yang sudah kami idam-idamkan. Sebelum pengumuman dimulai, Pak Adhi tiba-tiba memanggilku untuk mengatakan sesuatu. Ternyata itu semua berkaitan dengan keadaan ibuku di Denpasar.
”Ra, ini ada berita dari kakakmu, Amanda”
”Ada apa rupanya, Pak?”
”Ibumu nak..”
”Kenapa ibuku, Pak? Cepat beritahu aku, Pak !”
”Begini, ibumu terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Sejahtera karena sakitnya yang semakin parah”
”Oh, tidak! Tolong sembuhkan ibuku, Tuhan. Aku tak sanggup untuk kehilangan ibuku tercinta yang aku punya satu-satunya” tangisku pun mulai pecah.
Akhirnya pengumumanpun dimulai, dari Juara Harapan III hingga Juara III, tak satupun nama sekolah kami yang disebut. Akupun pasrah dengan hasilnya dan akupun semakin mendesak untuk pulang karena aku sudah tak memperdulikan lagi piala itu dan hanya ingin bertemu ibu dan mengetahui keadaannya sekarang juga.
Ternyata Juara II Liga Fisika-UGM diraih oleh SMAku.
”Suatu kehormatan yang tak bisa ku bayangkan sebelumnya !”
Setelah menerima penghargaan itu, akupun kembali terbang menuju kota kelahiranku dan langsung mencari rumah sakit yang merawat ibuku. Ternyata karena cerita Pak Adhi tentang kegigihanku dalam lomba membuat ibu semakin kuat dalam melawan sakitnya dan berusaha untuk sembuh karena ingin melihat kemenanganku dalam meraih piala yang sudah sejak SMP aku impikan. Dan tiba-tiba air mataku kembali menetes dan berusaha untuk mengatakan.
”Terima kasih untuk semua dukungan dan bimbingan kalian semua, kini aku bisa meraih apa yang sudah aku impikan selama ini serta menjadikan SMAku bersinar kembali dan tersenyum ramah kepadaku”

..................................................................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar