Serpihan
Jiwa dalam Meratapi Impian
Oleh : Rahayu
Kusuma Pratiwi
Keluarga kaya merupakan tingkatan
sosial keluargaku di masyarakat. Tinggal di suatu pulau yang berlandaskan
sosial budaya yang tinggi menjadikan diriku nyaman dan hidup tentram.
Sebenarnya, gambaran kehidupanku berawal dari prestasi yang telah diukir
ayahku. Ayahku adalah seorang dokter dan kini jabatannya yang mulia itu telah
dikenal di seantero kota
.
“Bangga..!”
Aku adalah anak
bungsu dari dua bersaudara. Dan perbedaan umurku dengan kakakku hanya terpaut
tiga tahun. Sangat beruntung bagiku telah dilahirkan ke dunia ini, dan
ditempatkan diantara keluarga yang cukup berada dan cukup disegani oleh
masyarakat sekitar.
Tapi hal itu, tak
berlangsung lama. Entah terkena penyakit apa, ayahku telah meninggalkan aku, kakak
semata wayangku dan ibu. Beliau meninggal saat umurku delapan tahun. Umur
anak-anak yang masih memerlukan kasih sayang seorang ayah, tapi hanya
terbalaskan oleh kasih sayang seorang wanita lembut, yaitu ibuku sendiri. Kini
ibu lah yang menjadi tumpuan hidup kami mendatang.
Semenjak ayah
meninggal, keadaan keluarga kami tak begitu nyaman dan tentram seperti dahulu.
Hal itu dimulai dari pertengkaran antara aku dan kak Amanda.
”Heh.cepet sini,
Rara..!”
”Iya kak, tunggu
sebentar” bergegas lari dari dapur.
”Cepetan dong,
nih tolong setrika bajuku ! Cepetan yah, sebentar aku mau jalan-jalan bareng temenku”
”Iya kak, aku
setrika sekarang”
”Awas kalau rusak
ya ! Cepetan..!!!”
Begitulah suasana
yang kini sering terdengar di rumah sederhana yang kami tempati. Keadaan kami
berdua di rumah sudah selayaknya anjing dan kucing, selalu bertengkar jikalau
bertemu. Tetapi, aku harus mengalah demi tidak terjadinya perpecahan. Karena
aku selalu teringat nasehat ayah untuk selalu berbagi, membantu dan menolong
saudara sendiri. Sungguh amanat yang sulit aku lakukan untuk tahun-tahun
belakangan ini, saat keadaanku berbeda dari anak-anak pada umumnya.
Hal itu mulai
kurasakan saat umurku dua belas tahun. Siang itu, sepulang dari les, aku
mengalami kecelakaan yang cukup serius. Sehingga kaki kananku harus di amputasi
dan digantikan oleh kaki buatan. Mulai saat itulah aku selalu dianggap sebagai
’orang aneh’ oleh kakakku. Dan sejak kematian ayah, kakakku sering membentak
dan menganggapku sebagai pembantu atau budaknya di rumah kami sendiri. Dengan
penuh kesabaran aku menanggapi hal itu, karena tak ada hal lain yang bisa aku
lakukan dengan keadaanku yang seperti itu.
...................
”Hai pincang”
ledek Rommy.
”......” hanya
terdiam karena panas hati.
”heh, berani juga
kamu sekolah di SMA ini”
”Makasi” ucapku
dalam hati, aku tak ingin mencari gara-gara dengannya, karena saat ini aku baru
mulai menghirup dan merasakan suasana putih-abu bangku sekolah.
”Rommy, jangan
seperti itu !” bela Rio dengan gagah.
”Wow, si pincang
ternyata ada pembelanya juga ya.. Hehehe”
“.......” aku
tetap terdiam.
“Pernahkah kau
bercermin dengan dirimu itu? Apakah sudah lebih baik darinya?”
Karena malu,
Rommy pun pergi meninggalkan kami berdua.
”Terima kasih ya,
Kak”
”Sama-sama,
sudahlah jangan dihiraukan omongannya itu”
Begitu banyak
ejekan yang telah aku terima sejak kehadiranku di SMA ini, tetapi aku sangat
beruntung mempunyai teman seperti Rio. Rio adalah temanku sejak kecil dan kami
selalu bermain bersama dari kecil karena kami juga bertetangga sejak kepindahan
ayahku dari Jakarta. Di SMA ini, Rio bukan lah hanya siswa biasa, dia
merangkap jabatan menjadi ketua osis dan peraih juara umum. Wajahnya nan rupawan
dan kapten basket adalah tambahan prestasi yang dimilikinya. Ia pun kini
menjadi laki-laki yang sangat populer di SMA ku ini. Tetapi sampai
saat ini, ia belum pernah terlihat bergandengan tangan dengan siswi lain.
Karena kami
bersahabat dari kecil, ia pun sering bertamu ke rumah mungilku. Dan jikalau ia
mempunyai waktu luang, ia pun sering membantuku untuk berjualan di rumah makan
kecil yang dibuka oleh ibuku. Disana kami menjual makanan khas Indonesia,
seperti nasi goreng, bakso, sate ayam, lalapan, dll. Kedai Makmur itu mulai
terbentuk sejak kematian ayahku. Karena keuangan keluarga kami menurun sejak
ayah pergi, akhirnya ibu berinisiatif membuka kedai itu untuk menambah keuangan
keluarga. Karena dengan gajinya sebagai guru dirasakan kurang untuk membiayai
kehidupan kami yang semakin hari semakin bertambah, apalagi dengan perubahan
yang dialami kakak semata wayangku yang kini berpakaian secara berlebihan agar
terlihat ‘glamour.’
Perubahan style yang dialami kakak pernah
ditentang oleh ibuku, karena mengingat kami harus menekan angka pengeluaran
yang harus disesuaikan dengan angka pemasukan yang diterima dari gaji ibuku dan
keuntungan yang diambil dari berjualan di kedai. Pantas saja hal
itu dilarang, karena dengan perubahan style
itu, pastinya pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh kakaku akan semakin
membumbung tinggi.
”Nak, kalian
berdua harus bisa menjadi orang yang irit. Tolong ibumu ini, Nak”
”Iya bu, aku kan
berusaha” jawabku.
”Tapi bu, aku
perlu uang lebih dari ini, aku perlu beli baju baru” bantah kak Amanda.
”Bukannya bulan
lalu, kamu sudah membeli banyak baju baru, Nak?”
”Yah, itu udah
nggak jaman lagi, Bu ! Kuno tau, Bu. Entar aku nggak dibilang stylish lagi ama temen-temen. Ayolah, Bu”
jelasnya penuh harapan
”Baiklah, untuk
bulan ini saja. Nanti bulan depan tidak ada penambahan uang jajan lagi!”
”Baiklah bu,
terima kasih”
Berfoya-foya,
berbelanja hal yang tidak dibutuhkan, sering mentraktir teman di kampus dan
sering bolos. Itulah kegiatan yang sudah menjadi rutinitas gejolak hidup kakakku
menjadi mahasiswa. Pernah dibentak oleh ibu, karena beberapa bulan terakhir ini
ada dosen dimana kakakku kuliah yang datang ke rumah, mengatakan bahwa beberapa
bulan terakhir kakak tidak sekolah karena ijin yang tidak jelas dan nilainya
anjlok. Padahal biasanya kakak mendapatkan nilai A karena kakak adalah
mahasiswa yang cukup di segani di kampusnya itu. Entah dengan siapa ia bergaul
hingga berubah seperti ini.
Suatu hari ketika
aku mengikuti pelajaran fisika yang sangat aku cintai sejak SMP, guruku Pak
Adhi, menginformasikan kepada murid-murid bahwa sekolah kami diundang untuk
mengikuti lomba fisika tingkat SMA se-Indonesia yang diselenggarakan oleh
HIMAFI-UGM.
”Lomba yang
begitu keren!”
................
Konflik batin. Satu
kalimat yang terus terngiang di pikiranku. Akankah aku mengikuti lomba itu?
Jika peristiwa semasa SMP terulang kembali bagaimana? Apa yang harus aku pilih
sekarang? Aku bingung. Haruskah aku menyetujui Pak Adhi untuk mengikuti lomba
itu dengan penuh harapan besarnya padaku? Atau apakah akan aku terima jawaban
dari dilema hatiku saat ini?
Begitu banyak
yang dipergunjingkan dari pikiranku layaknya aku ditempa oleh reruntuhan batu
dan berusaha mencari jalan keluar darisana. Belum lagi dengan keadaan ibuku
yang mulai memburuk karena penyakit asma yang dideritanya. Lomba itu diadakan
tepat lima hari sebelum aku berulang tahun. Dan lebih parah lagi, lomba itu
tidak ada yang dilaksanakan di Regional Bali, jadi aku harus terbang menuju
Pulau Jawa dan bertarung disana. Tetapi aku sangat khawatir dengan keadaan ibu
dan kakak yang mulai susah diatur. Aku takut kehilangan ibuku tercinta karena
pilihan jalan keluar dari masalah ini salah aku ambil. Mengingat kakakku yang
tidak pernah peduli akan keadaan ibunya karena kini ia sedang melakukan camping di daerah perbukitan bersama
rombongan mahasiswa yang lain.
”Bu, aku bingung
!”
”Bingung kenapa
anakku?”
"Di sekolah,
guru fisika Rara mengumumkan ada perlombaan fisika di Jogja“
"Wah, lomba
yang bergengsi itu. Trus, apakah kamu berniat ikut?“
”Hmm.. Aku
bingung bu, aku masih dilema karena lomba fisika SMP dulu.”
”Yang SMP biarlah
untuk SMP saja kenangan pahitmu itu. Kini engkau kan sudah SMA, siapa tau nasibmu
sedang disinari oleh Dewi Fortuna dan diberikan kemenangan. Kan tiada
salahnya untuk mencoba!”
”Tapi bu, aku
takut nantinya akan mengecewakan harapan ibu dan guru-guru di sekolah. Apalagi
tesnya di Jogja, kan lumayan butuh pengorbanan uang juga untuk kesana.”
”Tapi kan tak ada
salahnya untuk mencoba ! Jadi coba engkau renungkan baik-baik kesempatan ini.
Jangan sampai dia lepas begitu saja dari genggamanmu.”
”Baiklah bu”
Mendapat saran
dari ibu, hatiku sudah agak tenang dengan keputusan yang akan aku ambil. Tapi,
aku masih belum yakin juga pada pendirianku. Tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk dari Rio.
”Ra, kamu ikut
nggak Liga Fisika UGM thu?? Maunya aku ngajak kamu jadi timku. Kan lombanya
bertim dua orang! Gimana?? Bales ya!”
”Duh, apa yang
musti aku jawab ya? Mana aku belum punya keputusan lagi!” benakku.
Hari berganti
hari, akhirnya dua hari sebelum pendaftaran ditutup akupun berniat untuk
menghubungi Rio untuk membicarakan Liga Fisika itu. Tapi ternyata batang
hidungnya tak terlihat sampai bel masuk kelas berbunyi. Sudah kucoba untuk
menghubunginya lewat SMS (Short Message
Service) dan telepon tapi tak satupun yang digubrisnya. Akupun sangat
bingung dan tiba-tiba firasat burukku datang menyerang otakku.
Sepulang sekolah
aku mencoba untuk bergegas pulang dan langsung menuju rumahnya. Di depan gang
rumahnya terdapat bendera hitam. Tubuhku yang bercucuran air keringat kini
berubah menjadi gemetar karena tradisi di daerah tempat tinggalku, jika
terdapat bendera hitam berarti ada kematian yang pastinya melanda salah satu
keluarga di antara sepuluh rumah yang berada di Gang Rutani tersebut.
”Rio
telah pergi?? Tidakkk..!” teriakku sambil berlari menuju rumahnya yang berada
paling pojok.
Di
pagar rumahnya yang coklat terlihat Mimi, adik Rio satu-satunya yang dia miliki
menangis tak seperti biasanya. Hal ini semakin membuatku takut akan keadaan
Rio, aku tak ingin terlalu cepat ditinggalkan olehnya apalagi akupun belum sempat
untuk menjawab pertanyaannya mengenai lomba fisika itu.
“Mi, kok kamu
nangis. Kamu kenapa?”
”Rio kak.. Hhu
Hhu hhu..”
”Hah
? kenapa Kak Rio? Dia udah pergi ?”
“Iya kak, dia
ninggalin aku disini..!”
Mendengar ucapan
itu, jantungku terasa terhenti untuk berdetak. Rasanya badanku yang basah akan
keringat tak dapat kembali untuk menopang tubuhku yang jangkung ini untuk
berdiri dan aku pun terjatuh menatap Bumi Pertiwi.
“Kak Rara, kenapa
kok ikut nangis? Jangan begitu kak ! Nanti kotor baju sekolah kakak.”
”.........” hanya
terdiam meratapi semut yang sedang menggali tanah.
”Ayo kak, jangan
nangis ! Itu Kak Rio udah balik”
”Ra..?” Tangannya
yang hangat menepuk pundakku.
”Apa ini adalah
hantu Rio?” dalam benakku akan ketakutan dan kembali untuk berteriak.
”Hantuuu..”
”Lho, kenapa
kamu? Aku Rio nih”
”Hah
masa?”
“Iya ini aku, kok
tumben ke rumahku?”
“Ini
beneran kamu kan?”
“Aduuh,
kok kamu gitu? Iya iyalah ini Rio Kusuma Atmardi”
Akupun tersentak
untuk bergegas meraih tubuhnya dan ku peluknya dengan erat tanpa sadar diri.
Sambil sesenggukan dan dengan mata berkaca-kaca akupun berbisik.
“Rio, aku takut
engkau pergi”
”Aku nggak akan
pergi kok Rara!” jawabnya sambil mengelus rambutku yang acak-acakan akibat aku
berlari dan terjatuh tadi.
”Trus, kamu tadi
kok nangis, Mimi?”
”Itu, Kak Rio
ngambil sepedaku nggak bilang-bilang!”
“Ya
ampun, kakak kira firasat kakak beneran kalo Kak Rio udah pergi! Aduhh, kamu
itu lhoo”
“Emang
bener kok tadi kak Rio pergi pakai sepedaku ke Gramedia, tapi dia nggak ngajak
aku kak, makanya aku nangis”
“Oh, ya Ra.
Gimana mengenai ajakan itu? Kamu setuju khan?”
”Iya, aku setuju.
Maaf ya baru ngabarin sekarang!”
”Bruntung aja
kamu setuju, aku udah ngedaftarin tim kita dua hari yang lalu”
”Ya ampun,
ternyata kamu uda ngedaftarin aku toh.! Issh, kamu ini, tapi aku maafin deh.
Hhe.. Hhe”
Sejak kami dapat
bertemu kembali, kami pun saling bercerita tentang Liga Fisika yang akan
diselenggarakan lima hari lagi. Dan ternyata semenjak ketidakhadiran Rio di
sekolah, dia telah lebih dahulu mengambil ijin kepada guru untuk belajar di
laboratorium dengan Pak Adhi untuk memantapkan lomba.
Tiba juga hari
yang mendebarkan itu, melalui Pesawat Garuda Indonesia, aku, Rio dan Pak Adhi
terbang melesat menuju Kota Pendidikan-Yogjakarta.
Senin, 8 Agustus,
hari yang menengangkan bagiku karena hari inilah Babak Penyisihan Liga Fisika-UGM.
Soal demi soal aku kerjakan dengan bantuan Rio. Sepuluh soal objektif dan
sepuluh soal essay berhasil kami taklukan walaupun diantaranya kami mendapat
nilai minus akibat jawaban yang salah.
Tetapi akhirnya, kami berdua berhasil lolos babak penyisihan dan akan melaju ke
babak semifinal yang dilanjutkan esoknya. Akibatnya, kami bertiga terpaksa
menginap di Hotel Jogja.
Aku dan Rio
akhirnya lolos juga dalam babak semifinal, dan kami pun melanjutkan untuk
bertarung melawan sepuluh tim di Babak Final Liga Fisika-UGM.
”Sungguh bahagia
hatiku”
Karena babak
final akan diselenggarakan pada tanggal 11 Agustus, kami berdua pun mendapatkan
waktu sehari untuk mempelajari tentang eksperimen-eksperimen fisika karena
babak terakhir ini akan ditempuh di Laboratorium Fisika UGM.
Malam sebelum
lomba sempat aku menghubungi ibuku. Tetapi timbul perasaan ganjilku karena
teleponku tidak diangkat olehnya. Perasaan cemasku ternyata diketahui oleh Rio
dan dia berhasil untuk menenangkanku.
Hari terakhir di
Jogja adalah puncak usahaku dan Rio, disana kami bertarung untuk mendapatkan
Piala Presiden yang sudah kami idam-idamkan. Sebelum pengumuman dimulai, Pak
Adhi tiba-tiba memanggilku untuk mengatakan sesuatu. Ternyata itu semua
berkaitan dengan keadaan ibuku di Denpasar.
”Ra, ini ada
berita dari kakakmu, Amanda”
”Ada apa rupanya,
Pak?”
”Ibumu nak..”
”Kenapa ibuku,
Pak? Cepat beritahu aku, Pak !”
”Begini, ibumu
terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Sejahtera karena sakitnya yang semakin parah”
”Oh, tidak!
Tolong sembuhkan ibuku, Tuhan. Aku tak sanggup untuk kehilangan ibuku tercinta
yang aku punya satu-satunya” tangisku pun mulai pecah.
Akhirnya
pengumumanpun dimulai, dari Juara Harapan III hingga Juara III, tak satupun nama
sekolah kami yang disebut. Akupun pasrah dengan hasilnya dan akupun semakin
mendesak untuk pulang karena aku sudah tak memperdulikan lagi piala itu dan
hanya ingin bertemu ibu dan mengetahui keadaannya sekarang juga.
Ternyata Juara II
Liga Fisika-UGM diraih oleh SMAku.
”Suatu kehormatan
yang tak bisa ku bayangkan sebelumnya !”
Setelah menerima
penghargaan itu, akupun kembali terbang menuju kota kelahiranku dan langsung
mencari rumah sakit yang merawat ibuku. Ternyata karena cerita Pak Adhi tentang
kegigihanku dalam lomba membuat ibu semakin kuat dalam melawan sakitnya dan
berusaha untuk sembuh karena ingin melihat kemenanganku dalam meraih piala yang
sudah sejak SMP aku impikan. Dan tiba-tiba air mataku kembali menetes dan berusaha
untuk mengatakan.
”Terima kasih
untuk semua dukungan dan bimbingan kalian semua, kini aku bisa meraih apa yang
sudah aku impikan selama ini serta menjadikan SMAku bersinar kembali dan
tersenyum ramah kepadaku”
..................................................................................